Pages

0 komentar

Onrechtmatige daad

Onrechtmatige daad diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Perbuatan Melawan Hukum (PMH). PMH ini sudah menjadi kebiasaan dalam praktik bahwa pasal yang menjadi acuan yaitu Pasal 1365 KUHPdt.
Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia,” Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”.
Untuk membuktikan adanya suatu PMH ini, dalam pengertian Pasal 1365 KUHPdt, terdapat 4 elemen yang harus diujikan, yaitu: Perbuatan, Kesalahan, Kerugian, dan Pertangungjawaban. maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Karena Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia mensyaratkan untuk dikategorikan perbuatan melawan hukum harus ada kesalahan, maka perlu mengetahui bagaimana unsur kesalahan itu. Suatu tindakan dianggap mengandung unsur kesalahan, sehingga dapat diminta pertanggungjawaban hukum, jika memenuhi unsur- unsur sebagai berikut:

a. Ada unsur kesengajaan
b. Ada unsur kelalaian ( culpa )
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf , seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, suatu perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai Berikut:

1.Ada Suatu Perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Secara umum perbuatan ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti aktif) dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal pelaku mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat, kewajiban itu timbul dari hukum.
2. Perbuatan Itu Melawan Hukum
a. Perbuatan melanggar undang-undang
b. Perbuatan melanggar hak orang lain yang dilindungi hukum
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
d. Perbuatan yang bertentangan kesusilaan
e. Perbuatan yang bertentangan sikap baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
3. Ada Kesalahan Pelaku
Undang-Undang dan Yurisprudensi mensyaratkan untuk dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka pada pelaku harus mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalain melakukan perbuatan tersebut.

Perbuatan melawan hukum di sini, dimaksudkan adalah sebagai perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan. Sebab, untuk tindakan perbuatan melawan hukum secara pidana (delik) atau yang disebut dengan istilah " perbuatan pidana " mempunyai arti, konotasi dan pengaturan hukum yang berbeda sama sekali dengan perbuatan melawan hukum secara hukum perdata.
Bila dilihat dari model pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum lainnya, dan seperti juga di negaranegara dalam system hukum Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum di Indonesia adalah sebagai berikut

1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), seperti terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian seperti terdapat dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas seperti dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

0 komentar

HUKUM ADAT ( ADAT RECHT )

Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan adat. Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Dalam ranah pemikiran Arab kontemporer, adat atau tradisi diartikan dengan warisan budaya, pemikiran, agama, sastra, dan kesenian yang bermuatan emosional dan ideologis. Oleh karena itu, pengertian hukum Adat menurut Prof. Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Beberapa pendapat pakar yang lain tentang pengertian hukum Adat antara lain:
1. Prof. M. M. Djojodigoeno, SH. mengatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
2. Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Batasan bidang yang menjadi objek kajian hukum Adat meliputi:
a) Hukum Negara,
b) Hukum Tata Usaha Negara,
c) Hukum Pidana,
d) Hukum Perdata, dan
e) Hukum Antar Bangsa Adat.

Di masyarakat, hukum Adat nampak dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang terbesar,
2. Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti pranatan-pranatan di Jawa.
3. Uraian hukum secara tertulis. Uraian ini merupakan suatu hasil penelitian.Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu maka tiap bangsa di dunia memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena itu ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan bahwa adapt itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan. Tingkatan peradaban maupun cara penghidupan yang modern ternyata tidak mampu melenyapkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat paling-paling terlihat dalam proses kemajuan zaman itu.
Sejarah perhatian terhadap hukum adat itu dilukiskan secara lengkap oleh van Vollenhoven di dalam bukunya : “De Ontdekking van het Adatrecht” (tahun 1982). Dari lukisan van Vallenhoven itu oleh Sukanto dalam bukunya : “Meninjau Hukum adat Indonesia” dibuat suatu reproduksi yang dipersingkat. Timbul pertanyaan : siapakah yang menemukan hukum adat itu ? sudah tentu bukan rakyat sendiri, sebab hukum adat itu lahir dan berkembang di tengah-tengah rakyat, dihayati secara langsung oleh rakyat sendiri setiap hari. Menurut van Vallonhoven yang menemukan hukum adat ialah para sarjana, para ahli dan peminat lain terhadap hukum adat yang justru hidup di luar lingkungan masyarakat adat dan yang menjadi pelopor ilmu hukum adat atau pembangunan ilmu hokum adat. Di dalam bukunya itu van Vallonhoven memberitahukan sejak bilamana para sarjana dan sebagainya itu menyadari bahwa rakyat Indonesia, bangsa Indonesia mempunyai sekumpulan peraturan atau hidup dalam suasana peraturan yang mengatur tingkah laku, mengatur hidup kemasyarakatan yang menentukan serta mengikat karena mempunyai sanksi. Jadi apabila orang-orang asing, in casu orang-orang Belanda menyadari bahwa suatu kelompok orang tertentu yang bukan kelompok orang asing tersebut. In casu orang-orang Indonesia mempunyai sesuatu yang istimewa atau khusus maka dapatlah dikatakan bahwa orang-orang asing itu telah menemukan sesuatu yang khas yang dipunyai kelompok orang tertentu tersebut. Orang-orang Belanda menemukan hukum adat orang Indonesia
Penyelidikan van volllenhoven dan sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa wilayah Hukum adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada daerah hukum RI, yaitu terbatas pada kepulauan Nusantara kita. Hukum adat Indonesia tidak hanya bersemayam dalam hati nurani orang Indonesia yang menjadi warga negara Republik Indonesia di segala penjuru Nusantara kita, tetapi tersebar meluas sampai gugusan kepulauan Piliphina dan Taiwan di sebelah timur sampai kepulauan Paska, dianut dan dipertahankan oleh orang Indonesia yang termasuk golongan orang Indonesia dalam etnik.
Dalam wilayah yang sangat luas ini hukum adat tumbuh dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tatatertib sosial dan tatatertib hukum diantara manusia yang bergaul di dalam suatu masyarakat, supaya dengan demikian dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh hukum adat itu baik bersifat batiniah maupun jasmaniah kelihatan dan tak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercaya sejak kecil sampai berkubur berkalang tanah. Di mana masyarakat disitu ada hukum (adat).
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1.Hukum Adat mengenai tata negara
2.Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
3.Hukum Adat menganai delik (hukum pidana).

Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.

Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.


Wilayah hukum adat di Indonesia

Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
1.Aceh
2.Gayo dan Batak
3.Nias dan sekitarnya
4.Minangkabau
5.Mentawai
6.Sumatra Selatan
7.Enggano
8.Melayu
9.Bangka dan Belitung
10.Kalimantan (Dayak)
11.Sangihe-Talaud
12.Gorontalo
13.Toraja
14.Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
15.Maluku Utara
16.Maluku Ambon
17.Maluku Tenggara
18.Papua
19.Nusa Tenggara dan Timor
20.Bali dan Lombok
21.Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
22.Jawa Mataraman
23.Jawa Barat (Sunda)


Pengakuan Adat oleh Hukum Formal

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.

Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.

Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.

Hukum adat adalah hukum yang baik, yang telah mengatur masyarakat Indonesia selama ratusan tahun lebih. Dalam perkembangannya HUkum Adat itu telah menempuh kenyataan-kenyataan berikut:

1. Perubahan-perubahan dalam masyarakat yang menuju pada kemajuan diterima oleh hukum adat dengan suatu kebijaksanaan dengan menerima perubahan-perubahan kepada kemajuan itu. Sekaligus kemajuan-kemajuan yang telah dicapai itu berangsur-angsur dijadikan kebiasaan baru dan adat baru. lama-kelamaan menjadi pula ketentuan yabg kokoh dalam bentuk hukum adat. Kedudukan dan perkembangan hukum adat yang sedemikian itu berjalan terus dalam lingkungan pembinaan dan pemakaian hukum adat di Indonesia untuk waktu yang lama. Dibeberapa daerah lingkungan Hukum Adat (ada 19 lingkungan hukum adat di Indonesia menurut ajaran lama) perkembangan hukum adat yang sedemikian masih bertahan terus sampai dewasa ini. Tetapi pada derah lingkungan hukum adat perkembangan yang demikian telah berubah.

2. Pada banyak daerah di Indonesia dewasa ini, Hukum Adat mulai dimasukkan ke dalam hukum tertulis bagi masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh dapat kita lihat mengenai hukum tanah. Diseluruh daerah Indonesia semua tanah mulanya diatur menurut hukum adat. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda dengan Domeinverklaring tahun 1875. Disana dinyatakan bahwa "tanah yang tidak ada atau tidak jelas siapa pemiliknya adalah tanah Pemerintah HIndia Belanda." Tanah Adat tetap dibiarkan menurut pengurusan HUkum adat.

Sejak tahun 1960, telah ada undang-undang No. 5 tahun 1960, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Agraria ini menyatakan dengan tegas bahwa Hukum Agraria ini berdasar atas HUkum Adat dan dengan demikian Hukum Adat diserapkan ke dalam Undang-Undang POkok Agraria itu. Perundang-Undangan ini telah dilakukan berdasarkan kebijaksanaan Pemerintah dan Parlemen. Walupun dalam masyarakat hukum adat setempat belum terlihat keinginan dan kenyataan bentuk baru dari hukum mengenai tanah itu. Dengan ini nyata-nyata ditujukan nantinya meningkatkan hukum adat mengenai tanah ini sehingga tidak ada lagi dalam bentuk masa yang lalu itu, karena sudah diserahkan pada undang-undang pokok agraria itu. Nyatanya sampai sekarang keinginan undang-undang pokok agraria itu belum terlaksana penuh, tetapi telah berhasil mulai diterapkan di daerah-daerah seluruh Indonesia.

Dengan demikian kita lihat pada bentuk kedua ini, menuju kepada mempertinggi Hukum Adat itu dengan memasukkan dan meresapkannya dalam hukum positif tertulis berbentuk undang-undang biasa, pengganti Hukum Adat yang tidak tertulis.

Denngan menyalah artikan Pasal 33 UUD 1945, maka di bidang ekonomi dikeluarkan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam -- yang sebagian besar berada di dalam wilayah-wilayah adat -- di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Berbagai peraturan perundangan sektoral, khususnya yang dikeluarkan selama pemerintahan otoriter Orde Baru Soeharto dan Habibie seperti Undang-Undang (UU) Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang, telah menjadi instrumen utama untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya.
Sebagian besar masyarakat adat di Indonesia telah menjadi korban dari pembangunan yang sejatinya dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat. Dalam perkembangannya selama leboh dari 20 tahun terakhir, pembangunan mendapat kritik dan perlawanan dari hampir seluruh kelompok rakyat marjinal dan para pendukungnya. Kritik dan perlawanan inilah yang kemudian direspon oleh para elit politik dengan pendekatan yang dangkal dan parsial, yaitu dengan mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan, suatu upaya untuk "mendamaikan" konflik antara pertumbuhan ekonomi dengan konservasi alam. Pendekatan baru ini, yang juga meneruskan cara pandang bahwa alam (sebagai ekosistem) hanyalah barang ekonomi yang dinilai dengan uang (valuasi). Cara pandang ini sungguh ketinggalan jaman dibanding nilai-nilai dan pandangan holistik yang hidup di masyarakat adat, khususnya mereka yang relatif belum terhegemoni dengan materialisme. Bagi masyarakat adat asli ini, sangat jelas bahwa tanah dan sumberdaya alam lainnya bukan sekedar barang ekonomi, tetapi bersifat spiritual atau sakral.

Lebih mengenaskan lagi, beberapa terakhir ini kita pun dipaksa menyaksikan semakin maraknya konflik-konflik horisontal (antar kelompok masyarakat) yang memakan korban ribuan orang yang -- secara langsung ataupun tidak langsung -- bersumber dari ketidak-adilan dan pemiskinan struktural yang dialami masyarakat adat. Kembali lagi, pada situasi yang seperti ini, kita menjadi lupa akar persoalan struktural yang "menyemai benih dan menumbuh-suburkan" konflik-konflik horisontal, termasuk ketidak-adilan dan pelanggaran hak azasi manusia yang terkandung dalam banyak kebijakan negara yang tertuang dalam berbagai peraturan perUndang-Undangan sektoral yang mengatur tentang sumberdaya alam.

3 komentar

Lembaga-lembaga menurut UUD 1945

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih secara langsung. Pasal 3 UUD 1945 menyebutkan kewenangan MPR sebagai berikut:
a. Mengubah dan menetapkan UUD
b. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
c. Henya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Tugas-tugas DPR adalah sebagai berikut:
a. Membentuk undang-undang
b. Membahas rancangan RUU bersama Presiden
c. Membahas RAPBN bersama Presiden
Fungsi DPR adalah sebagai berikut:
a. Fungsi legislasi berkaitan dengan wewenang DPR dalam pembentukan undang-undang
b. Fungsi anggaran, berwenang menyusun dan menetapkan RAPBN bersama presiden
c. Fungsi pengawasan, melakukan pengawasan terhadap pemerintah
DPR diberikan hak-hak yang diatur dalam pasal-pasal UUD 1945, antara lain:
a. Hak interpelasi, hak DPR untuk meminta keterangan pada presiden
b. Hak angket, hak DPR untuk mengadakan penyelidikan atas suatu kebijakan Presiden/ Pemerintah
c. Hak menyampaikan pendapat
d. Hak mengajukan pertanyaan
e. Hak Imunitas, hak DPR untuk tidak dituntut dalam pengadilan
f. Hak mengajukan usul RUU

3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Anggota DPD dipilih dari setiap propinsi melalui pemilu. Anggota DPD dari setiap propinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Lembaga DPD bersidang sedikitnya sekali dalam se-tahun.

4. Presiden
Hasil amandemen UUD 1945 tentang kepresidenan berisi hal-hal berikut:
a. Presiden dipilih rakyat secara langsung
b. Presiden memiliki legitimasi (pengesahan) yang lebih kuat
c. Presiden setingkat dengan MPR
d. Presiden bukan berarti menjadi dictator

5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK adalah salah satu badan bebas dan madiri yang diadakan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh presiden.

6. Kekuasaan Kehakiman
Pasal 24 UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh:
a. Mahkamah Agung (MA)
Tugas MA adalah mengawasi jalannya undang-undang dan memberi sanksi terhadap segala pelanggaran terhadap undang-undang.
b. Mahkamah Konstitusi (MK)
Kewenangan MK adalah sebagai berikut:
1. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
2. Menguji undang-undang terhadap UUD
3. Memutuskan sengketa lembaga negara
4. Memutuskan pembubaran partai politik
5. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilu

c. Komisi Yudisial (KY)
Lembaga ini berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung. Lembaga ini berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung.


Hubungan Hubungan Antar Lembaga Negara Menurut UUD 1945

1.DPR dan PRESIDEN dalam merancang dan membuat Undang-undang,sesuai dengan pasal 20 ayat 2.

2.PRESIDEN dan MAHKAMAH AGUNG melakukan pertimbangan bersama dalam perihal pemberian grasi,sesuai dengan pasal 14 ayat 1.

3.MPR dan DPR dapat memecat presiden dan wakil presiden apabila terbukti
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai dengan pasal 7A.

4.DPR,MPR bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi dalam perihal memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai dengan pasal 7B ayat 1.

5.DPRD dan DPR dalam rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan pasal 22D ayat 1.

6.KOMISI YUDISIAL,DPR serta PRESIDEN bekerja sama perihal pengangkatan hakim agung sesuai dengan Pasal 24A ayat 3.